Apa itu osteoporosis? Menurut WHO, osteoporosis
merupakan kondisi yang dikarakterisasi dengan rendahnya densitas mineral tulang
dan kerusakan jaringan tulang secara mikro yang mengakibatkan peningkatan
risiko patah tulang. Sedangkan menurut kamus kedokteran Dorland edisi 29, osteoporosis
merupakan pengurangan massa tulang; menyebabkan fraktur setelah trauma minimal.
Bahasa sederhananya, osteoporosis adalah keropos tulang.
Osteoporosis dapat ditentukan dengan mengukur
densitas mineral tulang (bone mineral density-BMD). Metode yang untuk mengukur
BMD menggunakan dual energi X-ray absorptiometri (DXA) yang akan memberikan
nilai T yang merupakan nilai standar deviasi (SD) dari rata-rata BMD pada populasi
normal usia 20 tahun saat puncak kepadatan tulang. Osteoporosis ditunjukkan
dengan nilai T<-2,5. Sedangkan untuk nilai -2,5<T<-1 disebut
osteopenia.
Data WHO pada tahun 2002 menunjukkan prevalensi osteoporosis di
dunia menempati urutan ke-6 tertinggi dengan jumlah penderita 3 juta populasi
manusia. Sedangkan prevalensi osteoporosis di Indonesia
berdasarkan data Puslitbang Gizi Depkes RI pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
sebesar 41,7% penduduk di Indonesia menderita osteopenia dan sebesar 10,3%
menderita osteoporosis. Menurut Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (POI), perbandingan
jumlah berdasarkan kelamin yaitu pada populasi di atas 50 tahun, penduduk pria
penderita osteoporosis sebesar 28,8% dan penderita wanita sebesar 32,3%.
Proses Modeling dan Remodeling Tulang Pada
Keadaan Normal
Modeling tulang adalah suatu proses untuk
mencapai bentuk dan ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan
tulang. Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang
endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular. Hal
ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas
selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar
dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler,
berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas dan
prekursor osteoblas. Klasifikasi tulang rawan disebut the primary
spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan
disebut the secondary spongiosum bone yang nantinya dikenal
sebagai woven bone.
Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar),
tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal
sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan kembali
tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan tulang akibat
kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses penuaan atau aging
dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan
osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone remodeling unit”
(BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik, aktif saat modeling dan
remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh
osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan
jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar 0,24 mm bekerja meresorpsi
tulang dan membentuk tulang baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan 1 juta
BRU aktif bekerja sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non aktif. BRU bekerja
pada tulang kortikal maupun trabekular.
Proses penyerapan tulang terjadi dalam tiga
minggu sedangkan proses pembentukan tulang membutuhkan waktu sekitar tiga
bulan. Masa hidup BRU enam sampai sembilan bulan, lebih lama dari masa hidup
osteoblas yaitu tiga bulan dan masa hidup osteoklas dua minggu sehingga
diperlukan persediaan banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh sel mesenkim dan
osteoklas.
Proses aktivitas remodeling tulang dimulai
dengan aktivitas prekusor hemopoetik menjadi osteoklas yang secara normal akan
berinteraksi dengan linning cell osteoblas. Dalam fase
reversal osteoklas menghilang, digantikan oleh sel monosit yang bekerja
menempelkan bahan yang akan menjadi ‘lapisan cement’, kemudian pada fase
formasi tulang oleh pengaruh sinyal tertentu, osteoblas menempel dipermukaan
lubang lacuna howsip dan mensintesis kolagen, protein non-kolagen dan
mensekresinya membentuk osteoid yang pada akhirnya termineralisasi ekstrasel
menjadi ‘tulang’ (Compston, 2001). Densitas tulang akan terus meningkat sampai
pada dekade keempat atau kelima dengan kecepatan paling tinggi pada massa
pertumbuhan akil balik atau adolescent. Tulang trabekular mengalami
remodeling atau bone turnover sekitar20-30% pertahun sedangkan
tulang korteks 3% - 10% pertahunnya.
Secara singkat digambarkan tahapan siklus remodeling tulang adalah
sebagai berikut :
1. Quiescence yaitu
fase tenang, permukaan tulang sebelum terjadi resorpsi.
2. Activation dimulai saat
osteoklas teraktivasi dan taksis (pergerakan dan arah perpindahan dipengaruhi
oleh arah datangnya rangsangan) ke permukaan tulang.
3. Resorption dimana
osteoklas berada pada permukaan tulang. Osteoklas akan mengikis permukaan
tulang, melarutkan mineral, matriks tulang, membuat lubang (resorption pit) dan
selanjutnya tertarik dalam resorption pit.
4. Bone formation dimana
osteoblas akan membentuk tulang baru dengan memproduksi matriks tulang osteoid.
5. Mineralization yaitu
dimana permukaan tulang telah tertutupi sel-sel pelapis oleh proses modeling
dan remodeling tulang.
Proses Pembentukan dan Remodeling Tulang pada Keadaan Osteoporosis
Ciri dari osteoporosis adalah pengurangan massa tulang yang
disebabkan oleh ketidak- seimbangan antara resorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Dalam kondisi fisiologis, pembentukan tulang dan resorpsi
berada dalam keseimbangan. Osteoporosis juga dapat disebakan karena kegagalan
memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal selama pertumbuhan dan resorpsi tulang yang
berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas tulang, kerusakan mikroarsitektur
dari sistem skeleton dan berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon
peningkatan resorpsi selama remodeling tulang.
Remodeling tulang atau Bone Multicellular Units (BMUs)
terjadi pada permukaan tulang trabekula sebagai lacuna howsip irreguler dan di
tulang kortikal. Aktivitas osteoklas dimulai dari interaksi prekursor
hemopoetik dengan sel-sel lini osteoblas. Diketahui bahwa proses resorpsi dan
reversal berjalan pendek dan singkat padahal fase formasi memerlukan waktu yang
lama. Osteoblas secara progresif mengganti tulang menjadi lapisan sel-sel yang
tipis melekat di tulang sebagai osteosit atau mengalami apoptosis. Saat kita
bertambah tua, terjadi gangguan keseimbangan pembentukan tulang. Misalnya, pada
wanita menopause, osteoklas lebih aktif dan osteoblas kurang aktif, sehingga
tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit yang dibentuk, sehingga terjadi
gangguan struktur mikroskopik tulang dan terjadi pengurangan masa tulang.
Apabila proses resorpsi melebihi formasi tulang maka akan terjadi kekurangan
densitas massa tulang normal.
Penyebab osteoporosis
Penyebab yang dapat menimpulkan osteoporosis salah satunya adalah kekurangan
produksi hormon ovarian, khususnya estrogen. Kekurangan estrogen
menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi, diferensiasi, dan
aktivasi osteoklas barud an memperpanjang kelangsungan
hidup osteoklas matang. Sejumlah situs remodeling meningkat dan lubang resorpsi semakin
dalam serta tidak cukup diisi oleh fungsi osteoblastik normal. Akibatnya
kepadatan tulang berkurang. Osteoporosis karena kekurangan estrogen ini
disebut osteoporosis postmenopausal. Dalam studi yang telah dilakukan,
sekitar 10% sampai 25% dari kerapuhan tulang terjadi setelah menopause.
Kekurangan estrogen meningkatkan resorpsi tulang daripada pembentukannya.
Proses ini tampaknya tergantung pada faktor nekrosis tumor (TNF), interleukin-1
(IL-1), interleukin-11, interleukin-6, MCSF, dan prostaglandin E2, yang
merangsang aktivitas osteoklastik melalui sistem OPG/RANK/RANKL. TGF-β
berkurang, terkait dengan hilangnya estrogen, meningkatkan aksi osteoklas
melalui apoptosis menurun. Osteosit juga mungkin memainkan peran, biasanya
dengan bantalan berat badan lebih, osteosit memicu peningkatan BMD. Defisiensi
estrogen meningkatkan resorpsi tulang daripada pembentukannya. Tumor Nekrosis
faktor (TNF) dan sitokin lainnya menstimulasi aktivitas osteoklas. Penurunan transforming
Growth faktor β yang berkaitan dengan berkurangnya estrogen juga
meningkatkan aktivitas osteoklas. Selain itu, estrogen mempengaruhi tulang
tidak langsung melalui sitokin dan faktor pertumbuhan lokal. Estrogen dapat
meningkatkan apoptosis osteoklas melalui peningkatan produksi faktor transforming
Growth faktor β (TGF)-beta. Estrogen juga dapat menghambat
sekresi IL-6, dimana IL-6 ini berkontribusi pada perekrutan osteoklas
dari sel monosit, sehingga memberikan kontribusi untuk osteoporosis. Dengan
tidak adanya estrogen, sel T mempromosikan perekrutan osteoklas melalui
IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha. Estrogen menghambat sekresi
IL-6, dimana IL-6 ini berkontribusi pada perekrutan osteoklas dari sel
monosit, sehingga memberikan kontribusi untuk osteoporosis.
Kekurangan kalsium dan vitamin D juga dapat menyebabkan
osteoporosis terutama osteoporosis yang terkait dengan usia. Hilangnya
massa tulang terkait usia diakibatkan oleh peningkatan responsi
tulang. Peningkatan apoptosis osteosit dapat menurunkan respon terhadap
tegangan mekanik dan menghambat perbaikan tulang. Penuaan juga meningkatkan
resiko osteorosis karena kondisi comorbid, kesukaan kognitif,
pengobatan, masa penyembuhan, asupan kalsium yang tidak cukup, serta asupan dan
absorpsi vitamin D yang tidak cukup. Kekurangan kalsium dan vitamin D
mengarah kepada peningkatan laju pergantian tulang serta penurunan pembentukan
osteoblas.
Selain itu, penyakit (kondisi medis)
lain dan atau obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan
terjadinya osteoporosis diantaranya yaitu: Defisiensi testosteron, Hipertiroidisme,
Diabetes mellitus tipe 1, kehamilan, Rheumatoid arthritis,
Penyakit ginjal kronis, dll.
Glukokortikoid merupakan penyebab sekunder
osteoporosis yang paling umum dan penyebab ketiga paling umum dari semua
penyebab osteoporosis. Glukokortikoid menurunkan pembentukan tulang melalui
penurunan proliferasi dan diferensiasi serta meningkatkan apoptosis osteoblas.
Glukokortikoid dapat mengganggu mekanisme perbaikan natural tulang melalui
peningkatan apoptosis osteosit. Glukokortikoid dapat menurunkan konsentrasi
estrogen dan testosteron serta membuat keseimbangan kalsium menjadi negatif
melalui penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium urinari.
Terapi antikonvulsan misalnya menggunakan
phenytoin, carbamazepine, phenobarbital, asam valproat. Terapi dengan obat ini
dapat menyebabkan peningkatan metabolisme vitamin D yang mengakibatkan
konsentrasi vitamin D menjadi rendah, penurunan BMD (Bone Mineral Density)
dan peningkatan resiko patah tulang.
Terapi heparin dalam jangka panjang ( lebih
dari 15.000 sampai 30.000 unit, selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) dapat
menjadi penyebab kerapuhan tulang dan juga menyebabkan fraktur (osteoporosis)
pada tulang belakang. Terapi dengan obat ini dapat menyebabkan penurunan
fungsi osteoblast dan peningkatan fungsi osteoklast, penurunan BMD (Bone
Mineral Density) dan peningkatan resiko patah tulang.
Asupan vitamin A berlebih (≥ 1,5 mg dalam
bentuk retinol) juga dapat menyebabkan penurunan
aktifitas osteoblast dan peningkatan aktifitas osteoklast, penurunan BMD (Bone
Mineral Density) dan peningkatan resiko patah tulang.
Tanda-Tanda Osteoporosis
Osteoporosis bisa terjadi tanpa adanya gejala
selama beberapa dekade karena penyakit osteoporosis ini tidak akan disadari
oleh penderitanya sampai terjadi fraktur tulang. Selain itu, apabila
terjadi fraktur tulang tetapi tanpa gejala, adanya osteoporosis tidak dapat
terdeteksi. Oleh karena itu, banyak pasien yang tidak menyadari bahwa mereka
terjangkit osteoporosis sampai mereka merasakan adanya rasa sakit yang sangat
parah akibat fraktur tulang. Gejala yang timbul dari penyakit osteoporosis ini
biasanya adalah adanya rasa sakit yang lokasinya tergantung pada lokasi dimana
fraktur tulang terjadi. Gejala osteoporosis pada pria sama dengan gejalanya
pada wanita.
Fraktur pada tulang belakang dapat menyebabkan nyeri “band-like”
yang parah dari punggung ke bagian tepi tubuh. Jika terjadi selama
bertahun-tahun, fraktur spinal yang berulang dapat menyebabkan timbulnya sakit
punggung bawah yang kronis yang disertai pengurangan tinggi badan dan/atau
membengkoknya spinal karena adanya kerusakan pada tulang belakang. Biasanya,
penderita osteoporosis akan menjadi terlihat bungkuk (disebut dowager
hump) karena biasanya terlihat pada wanita lansia.
Fraktur juga dapat terjadi karena adanya trauma ringan atau stress
fracture. Misalnya, pasien mengalami stress fracture pada
kaki saat berjalan atau menginjak batu. Fraktur pada pinggul biasanya terjadi
karena jatuh atau kecelakaan. Fraktur pinggul dapat sembuh dengan sangat lama
setelah operasi perbaikan karena penyembuhan tulang yang sangat rendah.
Adapun tanda-tanda osteoporosis adalah
sebagai berikut:
1. Posture
memendek (berkurang >1,5”), kifosis, atau lordosis
2. Fraktur
pada vertebral, pinggul, pergelangan tangan, lengan bagian bawah/dalam.
3. Massa
jenis tulang yang rendah secara radiografi.
Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko
osteoporosis diantaranya yaitu jenis
kelamin. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh
hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.
Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45
tahun.
Seiring dengan pertambahan
usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki
risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang
trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon
paratiroid meningkat.
Ras juga membuat perbedaan
dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini
disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu
alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari
hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan
meskipun rendah.
Jika ada anggota keluarga
yang menderita osteoporosis, maka ada resiko terkena osteoporosis. Osteoporosis
menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu seperti kesamaan
perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya
struktur genetik tulang yang sama.
Obat kortikosteroid yang
sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata
menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah
tinggi akan mengurangi massa tulang karena kortikosteroid menghambat proses
osteoblas. Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit
osteoporosis.
Tulang akan giat membentuk
sel jika ditekan oleh bobot yang berat karena posisi tulang menyangga bobot
maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama
pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang
cenderung kurang terbentuk sempurna.
Gaya hidup kurang baik dapat
menjadi faktor resiko untuk osteoporosis. Contoh gaya hidup kurang baik antara
lain:
· Konsumsi daging merah dan minuman bersoda
Daging merah dan minuman
bersoda mengandung fosfor yang merangsang pembentukan hormon paratiroid yang berperan dalam pelepasan kalsium dari dalam darah.
· Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga
dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Menurut hasil penelitian,
air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu
berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat
toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
· Malas Olahraga
Malas
bergerak atau olahraga akan mengganggu proses pembentukan massa tulang dan kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak
gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.
· Merokok
Rokok dapat meningkatkan
risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan
tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas
hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak
kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
· Kurang asupan kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan
mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain,
termasuk yang ada di tulang.
· Kurang terpapar sinar matahari
Sinar matahari berperan dalam pembentukan
kalsitriol dari vitamin D.
Penanganan Non Farmakologi
1. Latihan
Fisik
Pada osteoporosis, latihan
jasmani dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit osteoporosis. Latihan
jasmani menggunakan beban berguna untuk melenturkan dan menguatkan tulang.
Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak muda dan terus dilanjutkan sampai
tua. Latihan fisik bermanfaat tidak hanya dalam meningkatkan kekuatan dan
kelenturan tulang, tapi juga dapat meningkatkan keseimbangan, kebugaran
jantung-paru, dan dapat memelihara dan meningkatkan massa tulang.
2. Nutrisi
Nutrisi yang baik
dibutuhkan untuk pertumbuhan normal tubuh. Kalsium merupakan nutrien spesifik
yang penting dalam pembentukan massa tulang dan mencegah serta mengobati
osteoporosis. Vitamin D diperlukan untuk mengoptimalkan penyerapan kalsium dan
berperan dalam kesehatan tulang.
3. Hindari
merokok dan minum alkohol
4.
Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis. Misalnya pada penderita yang memerlukan
glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian
glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin
5. Diagnosis
dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan
menopause awal pada perempuan.
6. Hindari
mengangkat barang berat pada pasien yang sudah pasti osteoporosis
7. Hindari
berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh
8. Hindari
peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium
sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal.
Bila ekskresi kalsium urin >300 mg/hari, berikan diuretic tiazid dosis
rendah (HCT 25 mg)
9. Pada penderita arthritis rheumatoid dan arthritis inflamasi lainnya,
sangat penting mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi
nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat arthritis inflamasi yang
aktif.
Daftar Pustaka
Adler, R. A., 2010, Osteoporosis:
Pathophysiology and Clinical Management, Humana Press, Richmond VA,
290.
Cipolle, R. J., L.M.
Strand, and P. C. Morley, 2007. Pharmaceutical Care Practice, The
Clinician’s Guide. 2nd edition. New York. Mc Graw Hill Medical
Dambro, M. R., 2006.
Osteoporosis, in : Griffith’s 5- Minutes Clinical Consult. M. R.
Dambro (Eds). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
DiPiro, Joseph T., R. L.
Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, and L. M. Posey, 2005, Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach, 6th ed., McGraw-Hill, New
York, 1645-1664
Duyff, R. L., 2006, American
Dietetic Association Complete Food and Nutrition Guide, 3rd Ed.,
John Wiley & Sons, New Jersey, 200.
Gueldner, S. H., M. S.
Burke, and H S. Wright, 2000, Preventing and Managing Osteoporosis,
Springer publishing company, New York, 187.
Permana, H., 2008. Patomekanisme
Osteoporosis Sekunder Akibat Steroid dan Kondisi Lainnya. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
Wachjudi, R. G., 2008. Osteoporosis
Akibat Pemakaian Steroid. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar