Sabtu, 10 Desember 2011

Osteoporosis


Apa itu osteoporosis? Menurut WHO, osteoporosis merupakan kondisi yang dikarakterisasi dengan rendahnya densitas mineral tulang dan kerusakan jaringan tulang secara mikro yang mengakibatkan peningkatan risiko patah tulang. Sedangkan menurut kamus kedokteran Dorland edisi 29, osteoporosis merupakan pengurangan massa tulang; menyebabkan fraktur setelah trauma minimal. Bahasa sederhananya, osteoporosis adalah keropos tulang.

Osteoporosis dapat ditentukan dengan mengukur densitas mineral tulang (bone mineral density-BMD). Metode yang untuk mengukur BMD menggunakan dual energi X-ray absorptiometri (DXA) yang akan memberikan nilai T yang merupakan nilai standar deviasi (SD) dari rata-rata BMD pada populasi normal usia 20 tahun saat puncak kepadatan tulang. Osteoporosis ditunjukkan dengan nilai T<-2,5. Sedangkan untuk nilai -2,5<T<-1 disebut osteopenia.

Data WHO pada tahun 2002 menunjukkan prevalensi osteoporosis di dunia menempati urutan ke-6 tertinggi dengan jumlah penderita 3 juta populasi manusia. Sedangkan prevalensi osteoporosis di Indonesia berdasarkan data Puslitbang Gizi Depkes RI pada tahun 2006 menunjukkan bahwa sebesar 41,7% penduduk di Indonesia menderita osteopenia dan sebesar 10,3% menderita osteoporosis. Menurut Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (POI), perbandingan jumlah berdasarkan kelamin yaitu pada populasi di atas 50 tahun, penduduk pria penderita osteoporosis sebesar 28,8% dan penderita wanita sebesar 32,3%.


Proses Modeling dan Remodeling Tulang Pada Keadaan Normal
Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang. Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular. Hal ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas dan prekursor osteoblas. Klasifikasi tulang rawan disebut the primary spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan disebut the secondary spongiosum bone yang nantinya dikenal sebagai woven bone.

Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar), tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses penuaan atau aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone remodeling unit” (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik, aktif saat modeling dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar 0,24 mm bekerja meresorpsi tulang dan membentuk tulang baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan 1 juta BRU aktif bekerja sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non aktif. BRU bekerja pada tulang kortikal maupun trabekular.

Proses penyerapan tulang terjadi dalam tiga minggu sedangkan proses pembentukan tulang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Masa hidup BRU enam sampai sembilan bulan, lebih lama dari masa hidup osteoblas yaitu tiga bulan dan masa hidup osteoklas dua minggu sehingga diperlukan persediaan banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh sel mesenkim dan osteoklas.

Proses aktivitas remodeling tulang dimulai dengan aktivitas prekusor hemopoetik menjadi osteoklas yang secara normal akan berinteraksi dengan linning cell osteoblas. Dalam fase reversal osteoklas menghilang, digantikan oleh sel monosit yang bekerja menempelkan bahan yang akan menjadi ‘lapisan cement’, kemudian pada fase formasi tulang oleh pengaruh sinyal tertentu, osteoblas menempel dipermukaan lubang lacuna howsip dan mensintesis kolagen, protein non-kolagen dan mensekresinya membentuk osteoid yang pada akhirnya termineralisasi ekstrasel menjadi ‘tulang’ (Compston, 2001). Densitas tulang akan terus meningkat sampai pada dekade keempat atau kelima dengan kecepatan paling tinggi pada massa pertumbuhan akil balik atau adolescent. Tulang trabekular mengalami remodeling atau bone turnover sekitar20-30% pertahun sedangkan tulang korteks 3% - 10% pertahunnya.

Secara singkat digambarkan tahapan siklus remodeling tulang adalah sebagai berikut :
1.    Quiescence yaitu fase tenang, permukaan tulang sebelum terjadi resorpsi.
2. Activation dimulai saat osteoklas teraktivasi dan taksis (pergerakan dan arah perpindahan dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan) ke permukaan tulang.
3.  Resorption dimana osteoklas berada pada permukaan tulang. Osteoklas akan mengikis permukaan tulang, melarutkan mineral, matriks tulang, membuat lubang (resorption pit) dan selanjutnya tertarik dalam resorption pit.
4.  Bone formation dimana osteoblas akan membentuk tulang baru dengan memproduksi matriks tulang osteoid.
5.  Mineralization yaitu dimana permukaan tulang telah tertutupi sel-sel pelapis oleh proses modeling dan remodeling tulang.

Proses Pembentukan dan Remodeling Tulang pada Keadaan Osteoporosis
Ciri dari osteoporosis adalah pengurangan massa tulang yang disebabkan oleh ketidak- seimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Dalam kondisi fisiologis, pembentukan tulang dan resorpsi berada dalam keseimbangan. Osteoporosis juga dapat disebakan karena kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal selama pertumbuhan dan resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas tulangkerusakan mikroarsitektur dari sistem skeleton dan berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon peningkatan resorpsi selama remodeling tulang.

Remodeling tulang atau Bone Multicellular Units (BMUs) terjadi pada permukaan tulang trabekula sebagai lacuna howsip irreguler dan di tulang kortikal. Aktivitas osteoklas dimulai dari interaksi prekursor hemopoetik dengan sel-sel lini osteoblas. Diketahui bahwa proses resorpsi dan reversal berjalan pendek dan singkat padahal fase formasi memerlukan waktu yang lama. Osteoblas secara progresif mengganti tulang menjadi lapisan sel-sel yang tipis melekat di tulang sebagai osteosit atau mengalami apoptosis. Saat kita bertambah tua, terjadi gangguan keseimbangan pembentukan tulang. Misalnya, pada wanita menopause, osteoklas lebih aktif dan osteoblas kurang aktif, sehingga tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit yang dibentuk, sehingga terjadi gangguan struktur mikroskopik tulang dan terjadi pengurangan masa tulang. Apabila proses resorpsi melebihi formasi tulang maka akan terjadi kekurangan densitas massa tulang normal. 

Penyebab osteoporosis
Penyebab yang dapat menimpulkan osteoporosis salah satunya adalah kekurangan produksi hormon ovarian, khususnya estrogenKekurangan estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas barud an memperpanjang kelangsungan hidup osteoklas matang. Sejumlah situs remodeling meningkat dan lubang resorpsi semakin dalam serta tidak cukup diisi oleh fungsi osteoblastik normal. Akibatnya kepadatan tulang berkurang. Osteoporosis karena kekurangan estrogen ini disebut osteoporosis postmenopausal. Dalam studi yang telah dilakukan, sekitar 10% sampai 25% dari kerapuhan tulang terjadi setelah menopause. Kekurangan estrogen meningkatkan resorpsi tulang daripada pembentukannya. Proses ini tampaknya tergantung pada faktor nekrosis tumor (TNF), interleukin-1 (IL-1), interleukin-11, interleukin-6, MCSF, dan prostaglandin E2, yang merangsang aktivitas osteoklastik melalui sistem OPG/RANK/RANKL. TGF-β berkurang, terkait dengan hilangnya estrogen, meningkatkan aksi osteoklas melalui apoptosis menurun. Osteosit juga mungkin memainkan peran, biasanya dengan bantalan berat badan lebih, osteosit memicu peningkatan BMD. Defisiensi estrogen meningkatkan resorpsi tulang daripada pembentukannya. Tumor Nekrosis faktor (TNF) dan sitokin lainnya menstimulasi aktivitas osteoklas. Penurunan transforming Growth faktor β  yang berkaitan dengan berkurangnya estrogen juga meningkatkan aktivitas osteoklas. Selain itu, estrogen mempengaruhi tulang tidak langsung melalui sitokin dan faktor pertumbuhan lokal. Estrogen dapat meningkatkan apoptosis osteoklas melalui peningkatan produksi faktor transforming Growth faktor β (TGF)-beta. Estrogen juga dapat menghambat  sekresi IL-6, dimana  IL-6 ini berkontribusi pada perekrutan osteoklas dari sel monosit, sehingga memberikan kontribusi untuk osteoporosis. Dengan tidak adanya estrogen, sel T mempromosikan perekrutan osteoklas melalui  IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha. Estrogen menghambat sekresi  IL-6, dimana IL-6  ini berkontribusi pada perekrutan osteoklas dari sel monosit, sehingga memberikan kontribusi untuk osteoporosis.

Kekurangan kalsium dan vitamin D juga dapat menyebabkan osteoporosis terutama osteoporosis yang terkait dengan usia. Hilangnya massa tulang terkait usia diakibatkan oleh peningkatan responsi tulang. Peningkatan apoptosis osteosit dapat menurunkan respon terhadap tegangan mekanik dan menghambat perbaikan tulang. Penuaan juga meningkatkan resiko osteorosis karena kondisi comorbid, kesukaan kognitif, pengobatan, masa penyembuhan, asupan kalsium yang tidak cukup, serta asupan dan absorpsi vitamin D yang tidak cukup. Kekurangan kalsium dan vitamin D mengarah kepada peningkatan laju pergantian tulang serta penurunan pembentukan osteoblas.

Selain itu, penyakit (kondisi medis) lain dan atau obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis diantaranya yaituDefisiensi testosteronHipertiroidisme, Diabetes mellitus tipe 1, kehamilan, Rheumatoid arthritis, Penyakit ginjal kronis, dll.

Glukokortikoid merupakan penyebab sekunder osteoporosis yang paling umum dan penyebab ketiga paling umum dari semua penyebab osteoporosis. Glukokortikoid menurunkan pembentukan tulang melalui penurunan proliferasi dan diferensiasi serta meningkatkan apoptosis osteoblas. Glukokortikoid dapat mengganggu mekanisme perbaikan natural tulang melalui peningkatan apoptosis osteosit. Glukokortikoid dapat menurunkan konsentrasi estrogen dan testosteron serta membuat keseimbangan kalsium menjadi negatif melalui penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium urinari.

Terapi antikonvulsan misalnya menggunakan phenytoin, carbamazepine, phenobarbital, asam valproat. Terapi dengan obat ini dapat menyebabkan peningkatan metabolisme vitamin D yang mengakibatkan konsentrasi vitamin D menjadi rendah, penurunan BMD (Bone Mineral Density) dan peningkatan resiko patah tulang.

Terapi heparin dalam jangka panjang ( lebih dari 15.000 sampai 30.000 unit, selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) dapat menjadi penyebab kerapuhan tulang dan juga menyebabkan fraktur (osteoporosis) pada tulang belakang. Terapi dengan obat ini dapat menyebabkan penurunan fungsi osteoblast dan peningkatan fungsi osteoklast, penurunan BMD (Bone Mineral Density) dan peningkatan resiko patah tulang.
Asupan vitamin A berlebih (≥ 1,5 mg dalam bentuk retinol) juga dapat menyebabkan penurunan aktifitas osteoblast dan peningkatan aktifitas osteoklast, penurunan BMD (Bone Mineral Density) dan peningkatan resiko patah tulang.

Tanda-Tanda Osteoporosis
Osteoporosis bisa terjadi tanpa adanya gejala selama beberapa dekade karena penyakit osteoporosis ini tidak akan disadari oleh penderitanya sampai terjadi fraktur tulang.  Selain itu, apabila terjadi fraktur tulang tetapi tanpa gejala, adanya osteoporosis tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu, banyak pasien yang tidak menyadari bahwa mereka terjangkit osteoporosis sampai mereka merasakan adanya rasa sakit yang sangat parah akibat fraktur tulang. Gejala yang timbul dari penyakit osteoporosis ini biasanya adalah adanya rasa sakit yang lokasinya tergantung pada lokasi dimana fraktur tulang terjadi. Gejala osteoporosis pada pria sama dengan gejalanya pada wanita.

Fraktur pada tulang belakang dapat menyebabkan nyeri “band-like” yang parah dari punggung ke bagian tepi tubuh. Jika terjadi selama bertahun-tahun, fraktur spinal yang berulang dapat menyebabkan timbulnya sakit punggung bawah yang kronis yang disertai pengurangan tinggi badan dan/atau membengkoknya spinal karena adanya kerusakan pada tulang belakang. Biasanya, penderita osteoporosis akan menjadi terlihat bungkuk (disebut dowager hump) karena biasanya terlihat pada wanita lansia.
Fraktur juga dapat terjadi karena adanya trauma ringan atau stress fracture. Misalnya, pasien mengalami stress fracture pada kaki saat berjalan atau menginjak batu. Fraktur pada pinggul biasanya terjadi karena jatuh atau kecelakaan. Fraktur pinggul dapat sembuh dengan sangat lama setelah operasi perbaikan karena penyembuhan tulang yang sangat rendah.
Adapun tanda-tanda osteoporosis adalah sebagai berikut:
1.      Posture memendek (berkurang >1,5”), kifosis, atau lordosis
2.      Fraktur pada vertebral, pinggul, pergelangan tangan, lengan bagian bawah/dalam.
3.      Massa jenis tulang yang rendah secara radiografi.

Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko osteoporosis diantaranya yaitu jenis kelamin. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.

Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.

Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.

Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka ada resiko terkena osteoporosis. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama.

Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang karena kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis.

Tulang akan giat membentuk sel jika ditekan oleh bobot yang berat karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.

Gaya hidup kurang baik dapat menjadi faktor resiko untuk osteoporosis. Contoh gaya hidup kurang baik antara lain:
·      Konsumsi daging merah dan minuman bersoda
Daging merah dan minuman bersoda mengandung fosfor yang merangsang pembentukan hormon paratiroid yang berperan dalam pelepasan kalsium dari dalam darah.
·      Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Menurut hasil penelitian, air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
·      Malas Olahraga
Malas bergerak atau olahraga akan mengganggu proses pembentukan massa tulang dan kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.

·      Merokok
Rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
·      Kurang asupan kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
·      Kurang terpapar sinar matahari
Sinar matahari berperan dalam pembentukan kalsitriol dari vitamin D.

Penanganan Non Farmakologi
1.      Latihan Fisik
      Pada osteoporosis, latihan jasmani dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit osteoporosis. Latihan jasmani menggunakan beban berguna untuk melenturkan dan menguatkan tulang. Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak muda dan terus dilanjutkan sampai tua. Latihan fisik bermanfaat tidak hanya dalam meningkatkan kekuatan dan kelenturan tulang, tapi juga dapat meningkatkan keseimbangan, kebugaran jantung-paru, dan dapat memelihara dan meningkatkan massa tulang.

2.      Nutrisi
    Nutrisi yang baik dibutuhkan untuk pertumbuhan normal tubuh. Kalsium merupakan nutrien spesifik yang penting dalam pembentukan massa tulang dan mencegah serta mengobati osteoporosis. Vitamin D diperlukan untuk mengoptimalkan penyerapan kalsium dan berperan dalam kesehatan tulang.

3.     Hindari merokok dan minum alkohol

4.   Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis. Misalnya pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin
5.   Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan.
6.   Hindari mengangkat barang berat pada pasien yang sudah pasti osteoporosis
7.   Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh
8.   Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin >300 mg/hari, berikan diuretic tiazid dosis rendah (HCT 25 mg)
9.  Pada penderita arthritis rheumatoid dan arthritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat arthritis inflamasi yang aktif.

Daftar Pustaka
Adler, R. A., 2010, Osteoporosis: Pathophysiology and Clinical Management, Humana Press, Richmond VA, 290.
Cipolle, R. J., L.M. Strand, and P. C. Morley, 2007. Pharmaceutical Care Practice,  The Clinician’s Guide. 2nd edition. New York. Mc Graw Hill Medical
Dambro, M. R., 2006. Osteoporosis, in : Griffith’s 5- Minutes Clinical Consult. M. R. Dambro (Eds). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
DiPiro, Joseph T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, and L. M. Posey, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th ed., McGraw-Hill, New York, 1645-1664
Duyff, R. L., 2006, American Dietetic Association Complete Food and Nutrition Guide, 3rd Ed., John Wiley & Sons, New Jersey, 200.
Gueldner, S. H., M. S. Burke, and H S. Wright, 2000, Preventing and Managing Osteoporosis, Springer publishing company, New York, 187.
Permana, H.,  2008. Patomekanisme Osteoporosis Sekunder Akibat Steroid dan Kondisi Lainnya. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
Wachjudi, R. G., 2008. Osteoporosis Akibat Pemakaian Steroid. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar